dailyinfo.blog Mahkamah Agung Republik Indonesia menegaskan komitmennya untuk terus memperhatikan kesejahteraan aparatur peradilan di seluruh Indonesia.
Dalam pembinaan teknis dan administrasi yudisial yang digelar di Balairung Gedung Tower Mahkamah Agung Jakarta, Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H. menegaskan bahwa peningkatan kesejahteraan bukan sekadar janji, melainkan bagian penting dari reformasi kelembagaan peradilan.
Menurut Prof. Sunarto, kesejahteraan aparatur seperti panitera, jurusita, dan jurusita pengganti adalah fondasi penting dalam menjaga motivasi, integritas, serta profesionalisme aparat pengadilan.
“Pimpinan Mahkamah Agung bekerja secara menyeluruh dan berkelanjutan, tidak hanya pada aspek kelembagaan, tetapi juga pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan sumber daya manusianya,” tegasnya.
Usulan Tunjangan Sudah Diteruskan ke Kementerian
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Sunarto menyampaikan bahwa Mahkamah Agung telah mengajukan usulan perubahan tunjangan bagi panitera dan jurusita ke pemerintah.
Usulan ini kini sudah memasuki tahap pembahasan di kementerian terkait.
“Usulan perubahan tunjangan bagi panitera, jurusita, dan jurusita pengganti telah mendapat tindak lanjut dan sedang dibahas oleh kementerian terkait,” ujarnya.
Langkah ini menjadi bagian dari upaya Mahkamah Agung untuk menciptakan keadilan struktural bagi seluruh aparatur peradilan, tanpa memandang jabatan atau posisi.
Menurutnya, keberhasilan lembaga peradilan tidak hanya bergantung pada hakim, tetapi juga pada kinerja seluruh unsur pendukung di dalamnya.
Kesejahteraan Sebagai Pilar Keadilan
Prof. Sunarto menekankan bahwa pengadilan merupakan satu kesatuan yang hanya dapat berdiri kokoh apabila setiap elemen di dalamnya mendapatkan perhatian yang seimbang.
Panitera dan jurusita adalah ujung tombak pelayanan publik yang berinteraksi langsung dengan masyarakat dan dokumen hukum.
“Peran mereka tidak kalah penting dari hakim. Mereka adalah penggerak administrasi hukum yang menjaga keutuhan proses peradilan,” ujar Sunarto.
Ia menambahkan bahwa peningkatan kesejahteraan juga berdampak pada peningkatan integritas.
Pegawai yang sejahtera akan lebih fokus pada tugas dan terhindar dari godaan penyimpangan.
“Kesejahteraan bukan sekadar hak, tetapi juga alat untuk menjaga marwah lembaga peradilan,” katanya.
Sunarto meminta seluruh aparatur peradilan untuk tetap sabar dan menjaga semangat.
Perubahan, menurutnya, memerlukan waktu, komitmen, dan kerja sama dari semua pihak.
“Perjuangan ini masih panjang, namun Mahkamah Agung tidak akan berhenti memperjuangkannya,” tuturnya.
Adaptasi Teknologi dan Tantangan Era Kecerdasan Buatan
Selain membahas kesejahteraan, Prof. Sunarto juga menyinggung tantangan besar di era digital.
Ia menyebutkan bahwa Artificial Intelligence (AI) kini telah berkembang pesat dan mulai mengambil peran dalam berbagai bidang, termasuk hukum dan administrasi peradilan.
“Kecerdasan buatan kini mampu membaca dokumen hukum, bahkan mencatat jalannya persidangan secara presisi dan real time,” ujarnya.
Menurutnya, tidak tertutup kemungkinan bahwa di masa depan, beberapa pekerjaan administratif pengadilan akan dilakukan oleh sistem berbasis teknologi.
Peringatan ini menjadi sinyal bagi seluruh aparatur peradilan untuk terus meningkatkan kompetensi.
Jika aparatur hanya mengandalkan kemampuan individual tanpa mengembangkan keterampilan digital, maka mereka akan tertinggal oleh perkembangan zaman.
“Cepat atau lambat, sebagian pekerjaan bisa digantikan robot. Tapi robot tidak punya nurani,” ujar Sunarto.
Nilai Moral dan Nurani Manusia Tidak Tergantikan
Meskipun mengakui keunggulan teknologi, Prof. Sunarto menegaskan bahwa peradilan tidak bisa dijalankan semata-mata oleh mesin.
Hukum bukan hanya soal hitam dan putih, tetapi juga menyangkut nilai moral dan rasa keadilan yang hanya dimiliki manusia.
“Robot mungkin bisa membaca pasal, tapi tidak bisa memahami penderitaan atau rasa keadilan masyarakat,” ucapnya.
Ia menekankan bahwa nurani, empati, dan kejujuran adalah kualitas yang membuat aparatur peradilan tetap relevan meskipun teknologi berkembang pesat.
“Oleh sebab itu, marilah kita terus menjaga dan mengasah nurani melalui kejujuran, empati, dan ketulusan dalam setiap tindakan. Yang membuat kita layak berada di sini bukan sekadar kemampuan berpikir, tetapi kemampuan untuk merasakan dan menegakkan keadilan dengan hati,” katanya penuh makna.
Konsolidasi dan Komitmen Kelembagaan
Pimpinan Mahkamah Agung juga mengingatkan pentingnya kolaborasi antara pengadilan tingkat pertama, banding, dan pusat agar seluruh kebijakan bisa berjalan efektif.
Ia menyebut bahwa reformasi peradilan hanya bisa berhasil jika seluruh aparatur memiliki visi yang sama: mewujudkan lembaga peradilan yang bersih, berwibawa, dan humanis.
Untuk itu, Mahkamah Agung berkomitmen memperkuat sistem digitalisasi, mempercepat layanan publik berbasis daring, dan menegakkan transparansi dalam setiap proses administrasi.
Langkah-langkah tersebut menjadi bagian dari strategi nasional dalam meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Penutup: Keadilan Tidak Sekadar Prosedur
Pesan akhir Prof. Sunarto menjadi refleksi bagi seluruh aparatur hukum di Indonesia.
Ia menegaskan bahwa keadilan tidak hanya diukur dari prosedur yang dijalankan dengan benar, tetapi juga dari niat dan hati nurani dalam menegakkan hukum.
Kesejahteraan dan teknologi hanyalah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu menghadirkan keadilan substantif bagi seluruh rakyat.
“Yang membedakan kita dari mesin adalah hati. Maka, jadilah insan peradilan yang berpikir jernih, bekerja profesional, dan berhati nurani,” pungkasnya.
Dengan komitmen tersebut, Mahkamah Agung berharap perubahan tunjangan bagi panitera, jurusita, dan jurusita pengganti tidak hanya menjadi kebijakan administratif, tetapi juga simbol penguatan martabat lembaga peradilan di Indonesia.

Cek Juga Artikel Dari Platform revisednews.com
