Dailyinfo – Aksi unjuk rasa yang berlangsung pada 15 September 2025 menjadi sorotan utama di ibu kota. Ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat turun ke jalan dalam aksi yang mereka sebut sebagai “Long March untuk Keadilan”. Demonstrasi ini berlangsung sejak pagi hari dan berakhir menjelang malam, dengan rute yang membentang dari kawasan Patung Kuda hingga ke depan gedung DPR/MPR RI. Meski aksi berjalan relatif tertib, sejumlah dinamika di lapangan mencerminkan situasi sosial-politik yang terus memanas. Berikut ini adalah lima poin penting dari perkembangan aksi demo 15 September di Jakarta:
1. Tuntutan Utama: Penolakan Revisi Undang-Undang
Isu utama yang diangkat dalam aksi ini adalah penolakan terhadap rencana revisi Undang-Undang tentang Sumber Daya Alam dan beberapa regulasi strategis lain yang dianggap merugikan rakyat kecil. Mahasiswa, buruh, petani, serta aktivis lingkungan hadir dengan suara yang sama: menolak kebijakan yang dinilai hanya menguntungkan elite tertentu. Spanduk, poster, dan orasi yang disuarakan secara bergantian menyampaikan pesan-pesan penolakan terhadap pasal-pasal bermasalah yang dianggap membuka celah eksploitasi lingkungan dan mengabaikan hak masyarakat adat. Dalam pernyataan tertulisnya, koordinator aksi menyebut bahwa mereka akan terus turun ke jalan hingga rancangan tersebut resmi dibatalkan.
2. Long March Ribuan Massa dari Berbagai Arah Kota
Aksi kali ini tidak hanya dipusatkan di satu titik, melainkan berlangsung dalam bentuk long march yang terkoordinasi dari berbagai arah. Massa mulai bergerak dari tiga titik kumpul utama: Bundaran HI, Stasiun Palmerah, dan Universitas Indonesia Salemba. Mereka menyusuri jalanan protokol dengan berjalan kaki sambil menyanyikan yel-yel perjuangan. Long march ini berlangsung lebih dari tiga jam sebelum akhirnya semua peserta berkumpul di depan gedung DPR. Meski arus lalu lintas tersendat, pihak kepolisian telah mengantisipasi dengan rekayasa lalu lintas dan pengamanan berlapis. Suasana tetap terkendali berkat koordinasi yang rapi antara panitia aksi dan aparat.
3. Keterlibatan Mahasiswa dan Serikat Pekerja Meningkat
Yang menarik dalam aksi kali ini adalah meningkatnya keterlibatan mahasiswa lintas kampus dan serikat pekerja lintas sektor. Dari identifikasi di lapangan, terlihat bendera dan atribut dari puluhan universitas di Jabodetabek, serta organisasi buruh dari sektor transportasi, manufaktur, hingga energi. Mereka membawa aspirasi masing-masing, namun tetap bersatu dalam tuntutan bersama. Aksi solidaritas ini menunjukkan bahwa isu-isu yang dibawa dalam demo telah menyentuh berbagai lapisan masyarakat, bukan hanya kelompok aktivis yang biasa turun ke jalan. Keterlibatan serikat juga menunjukkan kekhawatiran terhadap dampak revisi UU terhadap hak-hak pekerja dan jaminan sosial.
4. Aksi Damai Diwarnai Orasi dan Pertunjukan Seni Jalanan
Berbeda dengan unjuk rasa yang kadang diwarnai ketegangan, aksi 15 September berlangsung damai dan kreatif. Selain orasi dari para tokoh mahasiswa dan aktivis senior, peserta aksi juga menampilkan pertunjukan seni jalanan seperti teatrikal, puisi, dan musik akustik yang mengangkat tema perlawanan terhadap ketidakadilan. Ada juga panggung terbuka tempat siapa pun bisa menyampaikan aspirasi. Kehadiran elemen seni ini membuat suasana aksi menjadi lebih humanis dan menggugah simpati masyarakat umum yang melintas. Bahkan banyak pengguna jalan yang berhenti sejenak untuk menonton dan merekam momen-momen tersebut.
5. Tanggapan Pemerintah Masih Dingin, Aksi Lanjutan Disiapkan
Hingga malam hari, tidak ada perwakilan resmi dari pemerintah maupun DPR yang menemui massa. Surat tuntutan yang dibawa koordinator aksi hanya diterima oleh staf keamanan gedung. Hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan peserta demo. Dalam pernyataannya, aliansi aksi menyatakan akan terus melanjutkan perjuangan lewat jalur konstitusional dan aksi lanjutan dalam waktu dekat. Mereka bahkan menyebut kemungkinan aksi nasional serentak jika tidak ada tanggapan dalam 10 hari ke depan. Situasi ini memperlihatkan bahwa eskalasi gerakan masyarakat sipil masih akan terus berlanjut, terutama jika pemerintah tetap bersikap pasif terhadap kritik publik.
