dailyinfo – Ratusan warga Gaza mulai kembali ke rumah mereka setelah pasukan Israel ditarik dari beberapa wilayah yang selama berbulan-bulan menjadi medan pertempuran sengit. Meski banyak bangunan rata dengan tanah dan lingkungan sekitar tampak seperti puing reruntuhan, senyum dan rasa haru terlihat jelas di wajah para penduduk.
Bagi sebagian besar dari mereka, kepulangan ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan emosional menuju harapan dan pemulihan.
Menyambut Pulang dengan Air Mata
Di pinggiran Gaza utara, seorang ibu tiga anak berdiri terpaku di depan bangunan yang dulunya merupakan rumahnya. Dinding-dindingnya runtuh, hanya menyisakan satu sisi yang masih berdiri. Meski begitu, ia tersenyum sambil menatap langit.
“Rumah saya memang hancur, tapi kami masih hidup. Itu yang paling penting. Saya bisa memeluk anak-anak saya di tempat kami dibesarkan, walaupun hanya tersisa kenangan,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Seperti keluarga ini, banyak warga memilih kembali ke lingkungan asal mereka untuk memeriksa sisa-sisa rumah, mencari dokumen penting, atau sekadar memastikan tanah yang pernah mereka pijak masih bisa diakses.
Di Tengah Puing, Ada Harapan
Tidak semua warga bisa langsung kembali tinggal. Sebagian besar rumah telah menjadi reruntuhan. Namun banyak yang tetap mendirikan tenda darurat di dekat bangunan mereka, bertekad untuk membangun ulang hidup dari awal.
Di satu sudut kota, sekelompok pemuda terlihat membersihkan jalanan dari puing dan serpihan kaca. Mereka bekerja tanpa bayaran. “Kami hanya ingin lingkungan ini hidup kembali. Meskipun tidak ada listrik, air, atau makanan cukup, kami akan bertahan. Ini tanah kami,” kata salah satu dari mereka.
Langkah-langkah kecil ini mencerminkan tekad masyarakat Gaza untuk bangkit meski kehilangan begitu besar. Sekolah-sekolah yang rusak mulai dibersihkan, dan beberapa relawan mulai membuka dapur umum untuk memberi makan keluarga yang kembali.
Trauma yang Masih Membekas
Meskipun suasana terlihat lebih tenang, rasa trauma belum hilang. Anak-anak masih terbangun di malam hari karena mimpi buruk. Banyak orang dewasa berbicara dengan suara lirih, seolah masih takut akan dentuman senjata yang bisa saja kembali terdengar kapan saja.
Warga belum sepenuhnya percaya bahwa situasi akan stabil. Sebagian memilih untuk datang hanya pada siang hari untuk membersihkan rumah, lalu kembali ke tempat pengungsian di malam hari karena khawatir konflik bisa pecah kembali sewaktu-waktu.
“Damai ini masih rapuh,” ujar seorang pria paruh baya. “Kami bersyukur bisa pulang, tapi kami tahu betul betapa cepat semuanya bisa berubah.”
Bantuan Masih Terbatas
Kembalinya warga ke Gaza belum sepenuhnya didukung dengan fasilitas dasar. Air bersih sulit didapat, listrik hampir tidak tersedia, dan layanan kesehatan masih lumpuh total. Rumah sakit yang rusak belum bisa beroperasi dengan kapasitas penuh, dan tenaga medis sangat kekurangan obat-obatan serta peralatan.
Organisasi kemanusiaan telah mengisyaratkan kesediaan untuk masuk kembali ke Gaza, namun jalur distribusi masih belum terbuka secara penuh. Warga yang kembali hanya mengandalkan apa yang bisa mereka bawa, ditambah bantuan dari tetangga atau komunitas lokal.
Meskipun kondisi ini sangat berat, semangat gotong royong menjadi penopang utama. Warga saling membantu, berbagi makanan, dan menjaga satu sama lain, sesuatu yang menjadi ciri khas masyarakat Gaza sejak lama.
Pulang Adalah Bentuk Perlawanan
Bagi sebagian besar warga Gaza, kembali ke rumah mereka—meski sudah hancur—adalah bentuk nyata dari keberanian dan keteguhan hati. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka tidak akan terusir dari tanah mereka, dan bahwa kehidupan akan tetap berjalan meskipun dihantam oleh perang.
Seorang perempuan muda yang kehilangan dua saudaranya dalam konflik menulis di tembok rumah yang hancur: “Kami masih di sini.” Tulisan sederhana itu menggambarkan perlawanan tanpa senjata—perlawanan lewat keberadaan, lewat harapan, dan lewat tekad untuk hidup.
Menanti Kepastian yang Lebih Pasti
Meskipun penarikan pasukan telah dilakukan, belum ada kepastian jangka panjang mengenai stabilitas keamanan di Gaza. Warga berharap ini bukan sekadar jeda singkat, melainkan awal dari proses yang benar-benar membawa perubahan.
Kini, yang mereka butuhkan bukan hanya bantuan dan pembangunan kembali infrastruktur, tapi juga jaminan bahwa mereka bisa hidup tanpa rasa takut. Bahwa anak-anak bisa bermain tanpa harus sembunyi ke ruang bawah tanah, dan keluarga bisa tidur tanpa mendengar dentuman bom.
Penutup
Meski Gaza masih porak-poranda, kepulangan warga membawa secercah cahaya dalam kegelapan panjang yang mereka alami. Reruntuhan bangunan menjadi saksi bisu dari kehancuran, namun juga simbol kekuatan hati manusia untuk terus bertahan.
Hari ini, mereka tidak hanya kembali ke rumah mereka. Mereka kembali ke kehidupan, meski harus memulainya dari nol.

