
dailyinfo – Ketua DPR RI, Puan Maharani, akhirnya turut memberikan pandangannya terkait wacana pelarangan permainan daring Roblox yang tengah ramai dibicarakan publik. Dalam sebuah kesempatan, Puan menegaskan bahwa jika memang permainan tersebut terbukti mengandung konten negatif, langkah pembatasan bisa dipahami. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana orang tua dan pemerintah menjelaskan keputusan tersebut kepada anak-anak.
Puan menyadari bahwa dalam era digital seperti sekarang, anak-anak bukan hanya konsumen teknologi, tapi juga bagian dari arus utama. Ketika pemerintah mengambil langkah membatasi akses terhadap sesuatu yang sangat populer di kalangan anak, maka komunikasi yang empatik menjadi hal krusial. Menurutnya, larangan tanpa penjelasan akan menciptakan kebingungan, bahkan penolakan dari anak-anak.
Pernyataan Puan menjadi angin segar di tengah debat yang kerap hanya berfokus pada aspek keamanan digital, tanpa menyentuh dimensi psikologis anak. Ia menekankan bahwa literasi digital juga harus menyasar ke anak-anak dengan bahasa yang mereka pahami, bukan hanya ke orang dewasa.
Menjaga Anak dari Konten Negatif Tanpa Menghukum Imajinasi
Isu pelarangan Roblox mencuat karena adanya kekhawatiran terhadap potensi konten tidak layak yang bisa diakses oleh anak-anak. Beberapa laporan menyebutkan adanya ruang-ruang virtual dalam game tersebut yang tidak terpantau, dan berpotensi disalahgunakan. Namun di sisi lain, Roblox juga merupakan wadah kreasi dan ekspresi yang luar biasa luas bagi para pengguna muda.
Inilah yang membuat wacana pelarangan menjadi dilema. Di satu sisi, negara berkewajiban melindungi warganya—terutama anak-anak—dari paparan konten berbahaya. Namun di sisi lain, terlalu cepat melakukan pemblokiran tanpa solusi alternatif bisa berdampak pada pembatasan kreativitas anak.
Puan menyampaikan, pelarangan semestinya bukan pendekatan satu-satunya. Yang lebih penting adalah menciptakan sistem kurasi yang kuat, serta memberikan edukasi kepada orang tua agar mampu mendampingi anak dalam menggunakan teknologi. Ini sejalan dengan semangat membangun literasi digital, bukan sekadar melakukan pembatasan.
Mendampingi Anak di Dunia Digital Butuh Kolaborasi
Puan juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak—pemerintah, penyedia platform, orang tua, hingga pendidik—untuk menciptakan ruang digital yang aman dan sehat bagi anak. Ia menyampaikan bahwa menjadi orang tua di era digital tidak cukup hanya dengan memberikan perangkat dan aplikasi edukatif, tapi juga harus memahami cara kerja dunia digital itu sendiri.
“Orang tua perlu tahu bahwa anak-anak sekarang tidak hanya bermain, tapi juga bersosialisasi, bahkan belajar di dunia virtual. Kita harus hadir di sana, bukan malah menjauh,” ujar Puan dalam konferensi persnya.
Ia juga menyebut bahwa pendekatan terbaik adalah menjadikan anak sebagai mitra dialog, bukan objek kontrol. Ketika anak diajak bicara, dijelaskan alasannya, dan diberi ruang untuk bertanya, maka mereka akan lebih mudah memahami dan menerima. Terlebih, kebanyakan anak-anak kini cerdas dan kritis; mereka hanya butuh komunikasi yang jujur dan terbuka.
Pandangan ini mendapat sambutan positif dari para psikolog dan aktivis pendidikan anak. Sebab terlalu sering, keputusan soal dunia anak diambil tanpa melibatkan suara anak itu sendiri. Padahal, jika tujuannya adalah perlindungan, maka komunikasi yang sehat harus menjadi pondasinya.
Bukan Sekadar Larang, Tapi Ciptakan Ruang Alternatif
Menariknya, Puan juga mengajak pemerintah untuk tidak hanya berhenti pada wacana pelarangan, tetapi juga menyediakan ruang alternatif yang bisa mengakomodasi kebutuhan digital anak. Dalam konteks Roblox, misalnya, bila game tersebut dianggap tidak layak, maka bisa didorong pengembangan game lokal yang aman, edukatif, dan tetap menyenangkan.
Ia mencontohkan, Indonesia punya banyak talenta di bidang pengembangan gim. Dengan dukungan kebijakan dan pendanaan, para pengembang lokal bisa menciptakan platform alternatif yang sesuai dengan budaya Indonesia dan tetap menarik bagi anak-anak.
Langkah ini juga akan membangkitkan industri kreatif dalam negeri, sembari melindungi anak-anak dari paparan konten yang tak diinginkan. “Kita bisa mengubah krisis menjadi peluang. Daripada hanya melarang, kenapa tidak kita bangun sesuatu yang lebih baik untuk anak-anak kita?” kata Puan.
Beberapa startup lokal bahkan sudah mulai merintis platform edu-game yang aman dan interaktif. Namun dukungan regulasi dan promosi masih sangat dibutuhkan. Dalam hal ini, DPR RI bisa menjadi motor penggerak melalui kebijakan insentif dan kemitraan dengan industri lokal.
Anak Perlu Dipahami, Bukan Ditakuti
Yang paling menyentuh dari pernyataan Puan adalah pengakuannya bahwa anak-anak zaman sekarang sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka hidup dalam dunia yang terus terkoneksi, penuh informasi, dan cepat berubah. Karena itu, pendekatan lama seperti ancaman, larangan keras, atau stigmatisasi, sering kali tidak lagi efektif.
Alih-alih menakuti, Puan mengajak seluruh orang tua dan pihak yang berwenang untuk memahami lebih dulu. Duduk bersama anak, bertanya kenapa mereka suka Roblox, apa yang mereka lakukan di sana, siapa saja temannya, dan bagaimana mereka merasa saat bermain. Dari sana, percakapan yang sehat bisa tumbuh dan membentuk pemahaman dua arah.
Sikap ini juga menjadi pengingat penting bagi masyarakat bahwa anak-anak adalah bagian dari transformasi digital, bukan sekadar korban. Ketika mereka diajak dialog, diberi kepercayaan, dan dilindungi melalui pendekatan yang manusiawi, maka hasilnya akan lebih berdampak dan tahan lama.
Dalam penutupan pernyataannya, Puan berharap agar polemik Roblox bisa menjadi pelajaran bersama tentang pentingnya mendampingi anak di era digital. Bukan hanya mengontrol, tapi juga membimbing, mendengarkan, dan menciptakan ruang aman untuk tumbuh dan belajar.
Polemik seputar pelarangan Roblox membuka diskusi penting tentang cara kita memandang anak-anak dalam ekosistem digital. Puan Maharani, melalui pernyataannya, memberi perspektif yang lebih manusiawi—bahwa anak-anak bukan hanya perlu dilindungi, tapi juga dijelaskan dan diajak bicara.
Bukan berarti mengabaikan risiko yang ada, tapi bagaimana cara kita menanganinya menjadi kunci. Melarang mungkin mudah, tapi membimbing dengan pengertian dan menciptakan solusi jangka panjang jauh lebih berdampak. Terlebih, masa depan digital Indonesia tak bisa dibangun tanpa mendengar suara generasi muda yang akan mengisinya.
Dengan pendekatan yang tepat, dunia digital bisa menjadi ladang bermain sekaligus belajar. Dan jika semua pihak mau duduk bersama, mulai dari rumah hingga pembuat kebijakan, maka anak-anak bisa tumbuh dengan aman, kreatif, dan bahagia.
Sebab dunia digital bukan untuk ditakuti—melainkan untuk dipahami dan dijadikan jembatan menuju masa depan. Dan di tengah tantangan itu, suara dan keberanian untuk menjelaskan, seperti yang dilakukan oleh Puan, patut diapresiasi.
Masyarakat kini butuh pemimpin yang tidak hanya bisa memutuskan, tetapi juga menjelaskan. Dan semoga keberanian untuk memahami anak menjadi nada utama dalam simfoni kebijakan kita seperti yang telah beritakan oleh beritabandar.